Menjelang Pemilu legislatif 2014 tampang
para calon legislatif yang bertarung untuk merebut kursi DPR RI, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD RI, terpampang, terpancang dan
bergantungan dimana-mana. Tampang para caleg yang terbingkai pada Alat
Peraga Kampanye (APK), dengan berbagai ukuran baik dalam bentuk baliho,
spanduk, stiker dan sejenisnya bertebaran dan bertaburan di berbagai
sudut tempat di pelosok nusantara. Pagar, dinding rumah atau dinding
gedung, berikut tiang listrik, tiang telepon sampai tiang jemuran.
menjadi lokasi pampangan alat peraga kampanye para caleg. Pepohonan yang
nota bene makhluk hidup, terpaksa jadi korban yang terluka dan
tersakiti, karena jadi sasaran paku untuk tempat cantolan alat peraga
kampanye para caleg. Tak hanya itu, body mobil pun jadi tempat alat
peraga kampanye, dan itu dianggap efektif karena bisa bebas bergerak dan
berpindah kemana saja.
Gambar para caleg dengan nuansa warna-warni,
tak terhindar menjadi pemandangan menyilaukan. Saat ini siapapun yang
menoleh kiri kanan dan muka belakang, akan melihat penampakan berupa
tampang para caleg baik yang terpancang, yang bergelangtungan maupun
yang berseleweran di jalanan. Selain nomor urut para caleg, termasuk
nomor partai politik yang mengusung sang caleg, pada alat peraga
kampanye tertera juga kata-kata ataupun kalimat yang seolah menegaskan
mereka layak untuk dipilih juga terangkai dan menghiasai gambar tampang
para caleg.
Maraknya para caleg yang jual tampang melalui
alat peraga kampanye, sebuah gambaran kuatnya ambisi para caleg untuk
meraih kursi kehormatan sebagai wakil rakyat. Kondisi seperti itu, hal
yang wajar terjadi, dan sudah tradisi musiman yang menggebyar menjelang
berlangsungnya helatan demokrasi bernama pemilihan umum legislatif.
Memang terkesan menghamburkan uang, apalagi kalau dinominalkan dengan
nilai rupiah, sudah pasti tak sedikit uang yang dikeluarkan
masing-masing caleg untuk pengadaaan alat peraga kampanyenya. Kalau
diglobalkan, jelas tak terhitung jumlah uang yang dikeluarkan seluruh
caleg hanya untuk biaya pengenalan wajah melalui alat peraga kampanye.
Meski tak ada jaminan akan efektif membuat
para caleg dipilih oleh rakyat, namun pamer tampang melalui alat peraga
kampanye terlihat sangat kompetitif terjadi di lapangan. Kesan yang
ditangkap dari bertebar dan bertaburnya alat peraga kampanye adalah
bentuk keseriusan para caleg agar dikenal dan dipilih rakyat, dengan
satu tujuan yaitu meraih dan menduduki jabatan sebagai anggota
legislatif.
Berbicara ambisi, dipastikan sebagian besar
atau bahkan seluruh caleg berambisi agar terpilih sebagai legislator.
Maraknya alat peraga kampanye, bukti para caleg memang berambisi untuk
menang. Selain itu tak sedikit dari para caleg yang awalnya hanya
sekedar mencaleg atau memenuhi kuato jatah caleg, terutama caleg
perempuan, ketika mendekati hari pemilihan, obsesinya berubah menjadi
caleg yang ambisius dan menjadi serius bertarung mencari simpati rakyat
agar menjadi caleg terpilih. Banyak juga para caleg yang ambisius tanpa
mempertimbangkan peluang dan batas kemampuannya mendapat simpati
rakyat. Bagi yang tak punya materi atau minim materi, maka untuk
mewujudkan ambisinya, berusaha maksimal meningkatkan sosialisasi dan
bahkan ada yang tak sungkan-sungkan mengumbar janji agar terpilih. Tak
sedikit juga caleg yang mengandalkan uang semata, dan berprinsip uang
akan bisa menjadikannya terpilih sebagai legislator. Munculnya caleg
demikian karena masih banyak masyarakat tak punya prinsip, sehingga tak
berpikir cerdas dalam menggunakan hak pilihnya atau memilih karena
orientasi materi semata.
Jabatan legislatif adalah jabatan yang
diimpikan dan berusaha diraih para caleg. Sebagian besar para caleg yang
sudah merasakan nikmatnya kursi legislatif , seperti terkena zat
adiktif sehingga ketagihan menduduki jabatan tersebut, dan kembali
mencalegkan diri (caleg incumbent atau pertahana). Untuk caleg incumbent
atau pertahana, tampak tak merasa malu kembali mereproduksi diri alias
mendaur ulang dirinya seolah dianggap sebagai orang yang merakyat dan
peduli sama rakyat, meskipun mayoritas dari mereka ketika menjabat
sikapnya tak mencerminkan wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan
kepentingan rakyat.
Lalu, yang belum pernah merasakan nikmatnya
jabatan legislatif, ambisinya untuk meraih kursi legislatir tak kalah
dengan ambisi caleg incumbent atau pertahana. Bahkan tak sedikit jumlah
caleg yang tak kapok-kapoknya atau tak bosan-bosannya mencalegkan diri,
meski sebelumnya sudah beberapa kali menyandang status sebagai caleg
gagal. Ironisnya lagi, ada caleg yang hanya modal tampang doang,
ditambah modal semangat serta modal banyak berdoa kepada Yang Maha
Kuasa agar bisa terpilih.
Jabatan sebagai anggota legislatif bukanlah
jabatan sembarangan. Meski pada prinsipnya jabatan tersebut tak ubahnya
seperti profesi perkerjaan lain yang mendapat upah atau gaji bulanan,
atau tak ubahnya seperti jabatan pegawai negeri yang mendapat gaji dari
negara. Meskipun hanya jabatan yang berpriodik (hanya 5 tahun), namun
ada nilai lebih dari jabatan tersebut, yaitu status terhormat yang
melekat di jabatan tersebut. Dikatakan sebagai jabatan terhormat karena
orang yang berhasil menduduki posisi di jabatan tersebut dijuluki wakil
rakyat yang terhormat, karena dipilih dan mendapat kepercayaan (mandat)
dari rakyat melalui sebuah proses demokrasi.
Melihat kuatnya daya tarik jabatan
legislatit, merangsang para caleg berusaha maksimal untuk meraih jabatan
tersebut. Para caleg tak peduli dengan besarnya cost politik yang
dikeluarkan agar bisa terpilih dan meraih jabatan sebagai anggota
legislatif. Sampai-sampai ada yang berani mengambil resiko
mengelontorkan uang untuk melakukan money politik atau membeli suara
rakyat, agar berhasil meraih jabatan tersebut, dan cara ini seperti
sudah mentradisi dan sudah menjadi rahasia umum. Ironisnya jumlah
nominal yang digelontorkan untuk beli suara pemilih sangat kompetitif.
Tak terbantah kalau terjadi persaingan harga pasaran suara, dan
prakteknya memang terjadi di pemilihan legislatif sebelumnya dan
kemungkinan besar tak mungkin tak terjadi pada pemilihan legislatif 2014
nanti.
Status sebagai wakil rakyat terhormat, begitu
menggairahkan bagi para caleg untuk meraihnya. Sayangnya yang terlihat
dari upaya sebagian besar para caleg yang tengah bertarung untuk meraih
satatus tersebut, terkesan mengenyampingkan fungsi dan tujuan mulia yang
melekat di jabatan yang mereka kejar itu, apalagi partai-partai politik
lebih mengutamakan target meraih kursi sebanyak-banyaknya di lembaga
legislatif, sehingga tak sedikit caleg yang dimajukan pun hanya sebatas
caleg berpotensi untuk meraih suara.
Melihat ambisi para caleg, kursi jabatan yang
diperebutkan seolah tak dianggap lagi sebagai jabatan yang berfungsi
untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kesan yang ditangkap, bahwa
motivasi para caleg dengan daya upayanya untuk menang di pemilihan umum,
di satu sisi hanya semata mengejar status sebagai wakil rakyat
terhormat, dan di sisi lain karena melihat posisi wakil rakyat tersebut
sebagai sebuah pekerjaan dengan gaji besar, dan sebagai pekerjaan dengan
posisi jabatan politik yang punya kekuatan dan nilai tawar secara
politik. Yang membuat lebih merangsang para caleg, jabatan tersebut
adalah jabatan yang berpeluang meraih penghasilan materi dan fasilititas
yang menjanjikan, di luar dari penghasilan resmi dari jabatan itu.
Jadi tak bisa dipungkiri dan sudah menjadi
pemikiran di benak sebagian besar para caleg yang berambisi dan berusaha
untuk menang, terutama caleg yang berani menggelontorkan uang untuk
menang, termasuk para caleg incumbent atau pertahana, bahwa biaya yang
mereka keluarkan saat mencaleg akan bisa kembali saat mereka berhasil
meraih jabatan sebagai wakil rakyat.
Kalaupun para caleg mengumbar janji jika
mereka terpilih akan memperjuangkan kepentingan rakyat, kebanyakan janji
seperti itu hanya sebatas retorika dan dan dilontarkan sebagai bentuk
cari simpati, karena pada kenyataannya jabatan tersebutlah tujuan
utamanya. Logikanya, para caleg yang kelak terpilih, yang sebagian besar
telah mengeluarkan biaya yang tak sedikit agar terpilih, tentu lebih
mengutamakan kepentingan pengembalian biaya yang telah dikeluarkannya
saat mencaleg. Kondisi demikian memang sudah menjadi preseden dan fakta
yang dipertontonkan kebanyakan dari anggota legislatif hasil pemilihan
legislatif sebelum-sebelumnya, dan berkemungkinan akan dipertontonkan
oleh sebagaian besar anggota legislatif yang bakal terpilih di pemilihan
legislatif 2014 nanti.